Jumat, 16 Maret 2012

makalah ijarah


BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam lapangan muamalah adalah Ijarah. Ijarah sering disebut dengan “upah” atau “imbalan”. Kalau sekiranya kitab-kitab fiqih sering menerjemahkan kata Ijarah dengan “sewa menyewa”, maka hal tersebut janganlah diartikan menyewa sesuatu barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi harus dipahami dalam arti yang luas.
B.      Rumusan Masalah
Dari sedikit uraian mengenai Ijarah  diatas maka penyusun merumuskan beberapa indikator rumusan masalh berikut ini :
a.      Apa yang dimaksud dengan Ijarah?
b.      Apa saja hal-hal yang menjadi syarat Ijarah?
c.       Apa saja yang menjadi ketentuan hukum Ijarah?

C.       Sistematika Penulisan
Dalam makalah ini terdapat tiga bab, diawali dengan bab pendahuluan dan yang terakhir bab penutup yang berisi kesimpulan, dibawah ini adalah sistematika penulisannya :
BAB I Pendahuluan, diantaranya meliputi :
a.      Latar Belakang
b.      Rumusan Masalah
c.       Sistematika Penulisan
BAB II Pembahasan
BAB III Penutup berisikan kesimpulan dan saran.


BAB II
PEMBAHASAN
IJARAH
(SEWA-MENYEWA/UPAH-MENGUPAH)
A.       Pengertian Ijarah
Menurut etimologi Ijarah berasal dari kata Al-ajru yang artinya al-‘iwadh yang arti dalam bahasa Indonesianya ialah ganti atau upah.
Sedangkan menurut istilahnya, para ulama berbeda-beda dalam mendefinisakan Ijarah. Dibawah ini akan dikemukakan beberapa definisi Ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih :
a.      Ulama Hanafiyah:1)
عقد على المنا فع بعوض

Artinya: ” Akad atas sesuatu kemanfaatan dengan pengganti.”
b.      Ulama Asy-Syafi’iyah:2)
عقد علىى منفعة مقصود ة معلو مة مبا حة قا بلة للبذ ل والاءبا حة بعو ض معلوم

Artinya: ”Akad atas sesuatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu yang mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
c.       Ulama Malikiyah dan Hambaliyah:3)
تمليك منا فع شى ء مبا حة مد ة معلو مة بعوض
Artinya: ”Menjadikan milik sesuatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”
d.      Jumhur Ulama fiqih berpendapat bahwa Ijarah adalah menjual manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya, tetapi bendanya.
e.      Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa akad Ijarah identik dengan akad jual beli, namun demikian dalam Ijarah kepemilikan barang dibatasi dengan waktu. Secara harfiah, Al-Ijarah bermakna jual beli manfaat dan juga merupakan makna istilah syar’i. Al-Ijarah bisa diartikan sebagai akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam batasan waktu tertentu, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang.4)

B.        Rukun dan Syarat Ijarah
Rukun-rukun dan syarat-syarat Ijarah adalah sebagai berikut:
a.      Mu’jir dan Musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa-menyewa atau upah-mengupah. Mu’jir adalah yang memberikan upah yang menyewakan, Musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu, disyaratkan bagi Mu’jir dan Musta’jir adalah baligh, berakal, cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta), dan saling meridhai.
Bagi orang yang berakad ijarah juga disyarat mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan sempurna sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.
b.      Shighat ijab kabul antar Mu’jir dan Musta’jir, ijab kabul sewa-menyewa dan upah-mengupah, ijab kabul sewa-menyewa misalnya: “Aku sewakan mobil ini kepadamu setiap hari Rp 5.000,00”, maka musta’jir menjawab “Aku terima sewa mobil tersebut dengan harga demikian setiap hari”.
Ijab kabul upah mengupah misalnya seseorang berkata, “Kuserahkan kebun ini kepada mu untuk dicangkuli dengan upah setiap hari Rp5.000,00”, kemudian Musta’jir menjawab “Aku akan kerjakan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapkan”.
c.       Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa-menyewa maupun upah-mengupah.
d.      Barang yang disewakan atau sesuatau yang dikerjakan dalam upah-mengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa syarat berikut ini.
Ø  Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa dan upah mengupah dapat diamfaatkan kegunaannya.
Ø  Hendaklah benda yang menjadi objek sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaannya (khusus dalam sewa-menyewa).
Ø  Manfaat dari benda yang disewakan adalah perkara yang mubah (boleh) menurut syara’ bukan hal yang dilarang (diharamkan).
Ø  Benda yang disewakan disyaratkan kekal ‘ain(zat)-nya hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad.5)

C.        Dasar Hukum Ijarah
Hukum Ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih, sebab ijarah termasuk jual-beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatannya.
            Adapun hukum Ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad. Ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat. Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.
            Jafar dan Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa Ijarah fasid sama dengan jual-beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan.6)
            Dasar-dasar hukum atau rujukan Ijarah adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Al-Ijma’.
Dasar hukum Ijarah dalam Al-Qur’an adalah :

فان ا رضعن لكم فا تو هن اجورهن (الطلاق)

“Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berikanlah upah mereka” (Al-Thalaq: 6).
            Dasar hukum Ijarah dari Al-hadis adalah:
اعطو االاجيرا جره قبل ا ن يجف عر قه

“Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum krtingatnya kering.” (Riwayat Ibnu Majah)
احتجم وا عط الحجا م اجره (رواه البخارى ومسلم )

“Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
                Landasan Ijma’nya ialah semua umat bersepakat, tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (Ijma’) ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak dianggap.7)
D.       Pembagian Ijarah
Ijarah terbagi dua, yaitu Ijarah terhadap benda atau sewa-menyewa, dan Ijarah atas pekerjaan atau upah-mengupah.
a.      Sewa-Menyewa
Diperbolehkan Ijarah atas barang mubah seperti rumah, kamar, dan lain-lain, tetapi dilarang Ijarah terhadap benda-benda yang diharamkan.
Ø  Cara memanfaatkan barang sewaan.
·         Sewa Rumah
Jika seseorang menyewa rumah, dibolehkan untuk memanfaatkannya sesuai kemauannya, baik dimanfaatkan sendiri atau dengan orang lain, bahkan boleh disewakan lagi atau dipinjamkan kepada orang lain.
·         Sewa tanah
Sewa tanah diharuskan untuk menjelaskan tanaman apa yang akan ditanam atau bangunan apa yang akan didirikan disana. Jika tidak dijelaskan, Ijarah dipandang rusak.
·         Sewa kendaraan
Dalam menyewa kendaraan, baik hewan atau kendaraan lainnya harus dijelaskan salah satu diantara dua hal, yaitu waktu dan tempat. Juga harus dijelaskan barang yang akan dibawa atau benda yang akan diangkut.
Ø  Perbaikan barang sewaan.
Menurut ulama Hanafiyah, jika barang yang disewakan rusak, seperti pintu rusak atau dinding jebol dan lain-lain. Pemiliknya lah yang berkewajiban memperbaikinya, tetapi ia tidak boleh dipaksa sebab pemilik barang tidak boleh dipaksakan untuk memperbaiki barangnya sendiri. Apabila penyewa bersedia memperbaikinya, ia tidak diberikan upah sebab dianggap suka rela.
Ada pun hal-hal kecil, seperti membersihkan sampah atau tanah merupakan kewajiban penyewa.
Ø  Kewajiban penyewa setelah habis masa sewa
Diantara kewajiban penyewa setelah masa sewa habis adalah :
·         Menyerahkan kunci jika yang disewa ruamh.
·         Jika yang disewakan kendaraan, ia harus menyimpannya kembali ditempat asalnya.
b.      Upah-mengupah
Upah-mengupah atau Ijarah ‘ala al-a’mal, yakni jual beli jasa, biasanya berlaku dalam beberapa hal seperti menjahit pakaian, membangun rumah, dan lain-lain. Ijarah ‘ala al-a’mal terbagi dua,yaitu:
Ø  Ijarah khusus
Ijarah khusus yaitu Ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberi upah.
Ø  Ijarah Musytarik
Ijarah musytarik yaitu ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja sama. Hukumnya dibolehkan bekerjasama dengan orang lain.8)

E.        Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak mebolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh. Agama menghendaki agar dakam pelaksanaan Ijarah itu senantiasa diperhatikan ketentuan-ketentuan yang bisa menjamin pelaksanaannya yang tidak merugikan salah satu pihak pun serta terpelihara pula maksud-maksud mulia yang diinginkan agama.9)                 
Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut :
a.      Terjadi cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa.
b.      Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya.
c.       Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan.
d.      Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.
e.      Menurut Hanafiyah, boleh fasakh Ijarah dari salah satu pihak, seperti yang menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.
Jika Ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengenbalikan barang sewaan, jika barang itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah benda tetapi (‘Iqar), ia wajib menyerahkan dalam keadaan kosong, jika barang sewaan itu tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong dari tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk menghialngkannya.
Mazhab Hambali berpendapat bahwa ketika Ijarah telah berakhir, penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerahterimakannya, seperti barang titipan.10)


BAB III
PENUTUP

A.       KESIMPULAN
Akad Ijarah merupakan akad jual beli, namun demikian, dalam Ijrah kepemilikan barang dibatasi dengan waktu. Al-Ijarah bisa diartikan sebagai akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam batasan waktu tertentu, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang.
Adapun rukun dan syarat Ijarah adalah ‘Aqid (Mu’jir dan Musta’jir), Shighat akad, Ujrah (upah), Manfaat. Dasar-dasar hukum atau rujukan Ijarah adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Al-Ijma’.
B.        SARAN
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap semoga makalah ini bisa menjadi inspirasi dan motivasi agar teman-teman bisa membuat makalah yang lebih sempurna.

                                                                            





DAFTAR PUSTAKA
Ø  Syafe’i, Rachmat. 2004, Fiqih Muamalah.

Ø  Suhendi, Hendi. 2002, Fiqh Muamalah.

Ø  Djuwaini, Dimyauddin. 2008, Fiqh Muamalah.

Ø  Karim, Helmi. 1997, Fiqh Muamalah.
           










1) Alauddin Al-Kasani, Badai’ Ash-Shanai’ Fi Tartib Asy- Syara’i, juz IV,hlm.174.
2) Muhammad Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj,juz II.hlm. 332.
3) Ibn Qudamah,Al-Mugni,juz V,hlm.398.
4) Dimyauddin Djuwaini,Fiqh Muamalah,(Yogyakarta;Pustaka Pelajar,2008),hlm.153.
5) Hendi Suhendi,Fiqih Muamalah,(Jakarat;PT Rajagrafindo Persada,2002).hlm.117-118.
6) Rachmat syafe’i, Fiqih Muamalah,(Bandung;CV Pustaka Setia,2004),hlm.131.
7) Hendi Suhendi,Op.cit.,hlm.116.
8) Rachmat Syafe’i,Op.cit.,hlm.133.
9) Helmi Karim,Fiqih Muamalah,(jakarta;PT Rajagrafindo Persada,1997).hlm.35.
10) Hendi Suhendi,Op.cit.,hlm.123.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar