BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu bentuk kegiatan manusia
dalam lapangan muamalah adalah Ijarah. Ijarah sering disebut dengan “upah” atau
“imbalan”. Kalau sekiranya kitab-kitab fiqih sering menerjemahkan kata Ijarah
dengan “sewa menyewa”, maka hal tersebut janganlah diartikan menyewa sesuatu
barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi harus dipahami dalam arti yang
luas.
B. Rumusan Masalah
Dari sedikit uraian mengenai
Ijarah diatas maka penyusun merumuskan
beberapa indikator rumusan masalh berikut ini :
a.
Apa yang dimaksud dengan Ijarah?
b. Apa saja hal-hal yang menjadi
syarat Ijarah?
c. Apa saja yang menjadi
ketentuan hukum Ijarah?
C. Sistematika Penulisan
Dalam makalah ini terdapat
tiga bab, diawali dengan bab pendahuluan dan yang terakhir bab penutup yang
berisi kesimpulan, dibawah ini adalah sistematika penulisannya :
BAB I Pendahuluan,
diantaranya meliputi :
a. Latar Belakang
b. Rumusan Masalah
c. Sistematika Penulisan
BAB II Pembahasan
BAB III Penutup berisikan
kesimpulan dan saran.
BAB II
PEMBAHASAN
IJARAH
(SEWA-MENYEWA/UPAH-MENGUPAH)
A. Pengertian Ijarah
Menurut etimologi Ijarah berasal dari
kata Al-ajru yang artinya al-‘iwadh yang arti dalam bahasa
Indonesianya ialah ganti atau upah.
Sedangkan menurut istilahnya, para
ulama berbeda-beda dalam mendefinisakan Ijarah. Dibawah ini akan dikemukakan
beberapa definisi Ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih :
a. Ulama Hanafiyah:1)
عقد على المنا فع بعوض
Artinya: ” Akad atas sesuatu kemanfaatan dengan
pengganti.”
b. Ulama Asy-Syafi’iyah:2)
عقد علىى منفعة مقصود ة معلو مة مبا حة قا بلة للبذ ل والاءبا حة بعو
ض معلوم
Artinya: ”Akad atas sesuatu kemanfaatan yang mengandung
maksud tertentu yang mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan
pengganti tertentu.”
c. Ulama Malikiyah dan
Hambaliyah:3)
تمليك منا فع شى ء مبا حة مد ة معلو مة بعوض
Artinya: ”Menjadikan milik sesuatu kemanfaatan yang mubah
dalam waktu tertentu dengan pengganti.”
d.
Jumhur Ulama fiqih berpendapat bahwa Ijarah adalah menjual
manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk
diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk
diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya, tetapi
bendanya.
e.
Dari pendapat diatas dapat
disimpulkan bahwa akad Ijarah identik dengan akad jual beli, namun demikian
dalam Ijarah kepemilikan barang dibatasi dengan waktu. Secara harfiah,
Al-Ijarah bermakna jual beli manfaat dan juga merupakan makna istilah syar’i.
Al-Ijarah bisa diartikan sebagai akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa
dalam batasan waktu tertentu, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan atas barang.4)
B.
Rukun dan Syarat Ijarah
Rukun-rukun dan syarat-syarat Ijarah
adalah sebagai berikut:
a. Mu’jir dan Musta’jir, yaitu
orang yang melakukan akad sewa-menyewa atau upah-mengupah. Mu’jir adalah yang
memberikan upah yang menyewakan, Musta’jir adalah orang yang menerima upah
untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu, disyaratkan bagi Mu’jir dan
Musta’jir adalah baligh, berakal, cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta),
dan saling meridhai.
Bagi orang yang berakad ijarah juga disyarat mengetahui
manfaat barang yang diakadkan dengan sempurna sehingga dapat mencegah
terjadinya perselisihan.
b. Shighat ijab kabul antar
Mu’jir dan Musta’jir, ijab kabul sewa-menyewa dan upah-mengupah, ijab kabul
sewa-menyewa misalnya: “Aku sewakan mobil ini kepadamu setiap hari Rp
5.000,00”, maka musta’jir menjawab “Aku terima sewa mobil tersebut dengan harga
demikian setiap hari”.
Ijab kabul upah mengupah misalnya seseorang berkata, “Kuserahkan
kebun ini kepada mu untuk dicangkuli dengan upah setiap hari Rp5.000,00”,
kemudian Musta’jir menjawab “Aku akan kerjakan pekerjaan itu sesuai dengan apa
yang engkau ucapkan”.
c. Ujrah, disyaratkan diketahui
jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa-menyewa maupun upah-mengupah.
d. Barang yang disewakan atau
sesuatau yang dikerjakan dalam upah-mengupah, disyaratkan pada barang yang
disewakan dengan beberapa syarat berikut ini.
Ø Hendaklah barang yang menjadi
objek akad sewa-menyewa dan upah mengupah dapat diamfaatkan kegunaannya.
Ø Hendaklah benda yang menjadi
objek sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan
pekerja berikut kegunaannya (khusus dalam sewa-menyewa).
Ø Manfaat dari benda yang
disewakan adalah perkara yang mubah (boleh) menurut syara’ bukan hal yang
dilarang (diharamkan).
Ø
Benda yang disewakan
disyaratkan kekal ‘ain(zat)-nya hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian
dalam akad.5)
C.
Dasar Hukum Ijarah
Hukum Ijarah shahih adalah
tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang
yang menyewakan ma’qud ‘alaih, sebab ijarah termasuk jual-beli
pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatannya.
Adapun hukum
Ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan
manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari
kesepakatan pada waktu akad. Ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat.
Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis
pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.
Jafar dan
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa Ijarah fasid sama dengan jual-beli
fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh
barang sewaan.6)
Dasar-dasar
hukum atau rujukan Ijarah adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Al-Ijma’.
Dasar hukum Ijarah dalam Al-Qur’an
adalah :
فان ا رضعن لكم فا تو هن اجورهن (الطلاق)
“Jika mereka telah menyusukan
anakmu, maka berikanlah upah mereka” (Al-Thalaq: 6).
Dasar hukum
Ijarah dari Al-hadis adalah:
اعطو االاجيرا جره قبل ا ن يجف عر قه
“Berikanlah olehmu upah orang
sewaan sebelum krtingatnya kering.” (Riwayat Ibnu Majah)
احتجم وا عط الحجا م اجره (رواه البخارى ومسلم )
“Berbekamlah kamu, kemudian
berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Landasan Ijma’nya ialah semua umat bersepakat, tidak ada
seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (Ijma’) ini, sekalipun ada
beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak
dianggap.7)
D. Pembagian Ijarah
Ijarah terbagi dua, yaitu
Ijarah terhadap benda atau sewa-menyewa, dan Ijarah atas pekerjaan atau
upah-mengupah.
a. Sewa-Menyewa
Diperbolehkan Ijarah atas barang
mubah seperti rumah, kamar, dan lain-lain, tetapi dilarang Ijarah terhadap
benda-benda yang diharamkan.
Ø
Cara memanfaatkan barang sewaan.
·
Sewa Rumah
Jika seseorang menyewa rumah,
dibolehkan untuk memanfaatkannya sesuai kemauannya, baik dimanfaatkan sendiri
atau dengan orang lain, bahkan boleh disewakan lagi atau dipinjamkan kepada
orang lain.
·
Sewa tanah
Sewa tanah diharuskan untuk
menjelaskan tanaman apa yang akan ditanam atau bangunan apa yang akan didirikan
disana. Jika tidak dijelaskan, Ijarah dipandang rusak.
·
Sewa kendaraan
Dalam menyewa kendaraan, baik hewan
atau kendaraan lainnya harus dijelaskan salah satu diantara dua hal, yaitu
waktu dan tempat. Juga harus dijelaskan barang yang akan dibawa atau benda yang
akan diangkut.
Ø
Perbaikan barang sewaan.
Menurut ulama Hanafiyah, jika barang
yang disewakan rusak, seperti pintu rusak atau dinding jebol dan lain-lain.
Pemiliknya lah yang berkewajiban memperbaikinya, tetapi ia tidak boleh dipaksa
sebab pemilik barang tidak boleh dipaksakan untuk memperbaiki barangnya sendiri.
Apabila penyewa bersedia memperbaikinya, ia tidak diberikan upah sebab dianggap
suka rela.
Ada pun hal-hal kecil, seperti
membersihkan sampah atau tanah merupakan kewajiban penyewa.
Ø
Kewajiban penyewa setelah habis masa sewa
Diantara
kewajiban penyewa setelah masa sewa habis adalah :
·
Menyerahkan kunci jika yang disewa ruamh.
·
Jika yang disewakan kendaraan, ia harus menyimpannya kembali
ditempat asalnya.
b. Upah-mengupah
Upah-mengupah atau Ijarah ‘ala
al-a’mal, yakni jual beli jasa, biasanya berlaku dalam beberapa hal seperti
menjahit pakaian, membangun rumah, dan lain-lain. Ijarah ‘ala al-a’mal terbagi
dua,yaitu:
Ø Ijarah khusus
Ijarah khusus yaitu Ijarah yang
dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang bekerja tidak boleh
bekerja selain dengan orang yang telah memberi upah.
Ø Ijarah Musytarik
Ijarah musytarik yaitu ijarah yang
dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja sama. Hukumnya dibolehkan
bekerjasama dengan orang lain.8)
E.
Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad
yang tidak mebolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah
merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang mewajibkan
fasakh. Agama menghendaki agar dakam pelaksanaan Ijarah itu senantiasa diperhatikan
ketentuan-ketentuan yang bisa menjamin pelaksanaannya yang tidak merugikan
salah satu pihak pun serta terpelihara pula maksud-maksud mulia yang diinginkan
agama.9)
Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada
hal-hal sebagai berikut :
a. Terjadi cacat pada barang
sewaan yang terjadi pada tangan penyewa.
b. Rusaknya barang yang
disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya.
c. Rusaknya barang yang
diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan.
d. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan,
berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.
e. Menurut Hanafiyah, boleh
fasakh Ijarah dari salah satu pihak, seperti yang menyewa toko untuk
dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan memfasakhkan
sewaan itu.
Jika Ijarah telah berakhir,
penyewa berkewajiban mengenbalikan barang sewaan, jika barang itu dapat
dipindahkan, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya, dan jika bentuk barang
sewaan adalah benda tetapi (‘Iqar), ia wajib menyerahkan dalam keadaan kosong,
jika barang sewaan itu tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam
keadaan kosong dari tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk menghialngkannya.
Mazhab Hambali berpendapat
bahwa ketika Ijarah telah berakhir, penyewa harus melepaskan barang sewaan dan
tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerahterimakannya, seperti barang
titipan.10)
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Akad Ijarah merupakan akad jual beli,
namun demikian, dalam Ijrah kepemilikan barang dibatasi dengan waktu. Al-Ijarah
bisa diartikan sebagai akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam
batasan waktu tertentu, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barang.
Adapun rukun dan syarat Ijarah adalah
‘Aqid (Mu’jir dan Musta’jir), Shighat akad, Ujrah (upah), Manfaat. Dasar-dasar
hukum atau rujukan Ijarah adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Al-Ijma’.
B.
SARAN
Penyusun menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap semoga makalah
ini bisa menjadi inspirasi dan motivasi agar teman-teman bisa membuat makalah
yang lebih sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Syafe’i, Rachmat. 2004, Fiqih
Muamalah.
Ø Suhendi, Hendi. 2002, Fiqh
Muamalah.
Ø Djuwaini, Dimyauddin. 2008,
Fiqh Muamalah.
Ø Karim, Helmi. 1997, Fiqh
Muamalah.
1) Alauddin
Al-Kasani, Badai’ Ash-Shanai’ Fi Tartib Asy- Syara’i, juz IV,hlm.174.
2) Muhammad
Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj,juz II.hlm. 332.
3) Ibn
Qudamah,Al-Mugni,juz V,hlm.398.
4)
Dimyauddin Djuwaini,Fiqh Muamalah,(Yogyakarta;Pustaka Pelajar,2008),hlm.153.
5) Hendi
Suhendi,Fiqih Muamalah,(Jakarat;PT Rajagrafindo Persada,2002).hlm.117-118.
6) Rachmat
syafe’i, Fiqih Muamalah,(Bandung;CV Pustaka Setia,2004),hlm.131.
7) Hendi
Suhendi,Op.cit.,hlm.116.
8) Rachmat
Syafe’i,Op.cit.,hlm.133.
9) Helmi
Karim,Fiqih Muamalah,(jakarta;PT Rajagrafindo Persada,1997).hlm.35.
10) Hendi
Suhendi,Op.cit.,hlm.123.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar